Buntut dari penegakan hukum yang keliru bukan malah memperbaiki situasi persaingan pasar menjadi sehat, sebaliknya justru bisa mendepak pelaku usaha dari pasar secara keliru.
Tak semua kasus harus diselesaikan dengan penegakan hukum, terlebih untuk kasus persaingan usaha yang begitu erat kaitannya dengan ekonomi yang berbasiskan mekanisme pasar. Dampak yang perlu dipikirkan, seberapa tepatkah penegakan hukum itu dijadikan sarana penyelesaian atas suatu kasus? Masalahnya, buntut dari penegakan hukum yang keliru bukan malah memperbaiki situasi persaingan pasar menjadi sehat, sebaliknya justru bisa mendepak pelaku usaha dari pasar secara keliru.
Bila itu terjadi, kompetitor jelas akan berkurang dan pada akhirnya malah mengakibatkan berkurangnya variasi produk sejenis, penurunan kualitas barang, kenaikan harga bahkan nasib karyawan pada perusahaan bersangkutan akan sangat dipertaruhkan. Mengamini hal itu, Mantan Ketua KPPU Sutrisno Iwantono menegaskan bahwa inti dari kebijakan persaingan yang tadinya adalah untuk menciptakan suatu mekanisme pasar yang sehat dan efisien, pada gilirannya malah mengakibatkan pasar menjadi tak sehat.
“Mengantisipasi itu terjadi, regulator atau policy maker hendaknya menggunakan instrumen deregulasi, debirokratisasi, penciptaan pasar yang lebih terbuka, sehingga di situ akan terjadi free entry, free exit, transparansi dan sebagainya, bukan malah memperbanyak intervensi pemerintah atau regulasi,” ujanya dalam seminar publik yang berjudul Penerapan Prinsip Hukum Persaingan Usaha Pada Industri Jasa Pengangkutan Laut, Selasa (30/4).
Kalau ekonomi terlalu banyak diintervensi, terlebih bila intervensinya ‘buruk’, Sutrisno berpandangan justru malah akan menghasilkan pasar yang tidak sehat. Semakin suatu Negara menginginkan terciptanya pasar yang baik, katanya, maka keterlibatan pemerintah harusnya semakin berkurang.
Terlebih, ketika suatu pasar terlalu banyak diintervensi dan diatur oleh regulator (highly regulated), otoritas persaingan usaha tidak boleh banyak berperan mengingat disitu mekanisme pasar memang tidak terjadi. Itulah alasannya, mengapa industri yang sifatnya regulated tidak bisa dilakukan penegakan hukum secara benar.
Dia mencontohkan adanya gejolak harga garam yang diakibatkan karena adanya pemberlakuan kuota oleh pemerintah, maka disitu penyebabnya bukan lagi kartel mengingat pemerintah sendiri yang mengatur soal kuota. “Jadi memang industri-industri yang highly regulated tak bisa diterapkan persaingan usaha secara murni karena tak ada mekanisme pasar di situ,” tukasnya.
Penegakan hukum oleh otoritas persaingan usaha, katanya, hanya bisa dilakukan ketika keterlibatan pemerintah dalam mengatur pasar tidak terlalu banyak. Misalnya, ketika pelaku-pelaku usaha mulai menyalahgunakan posisi dominan (abuse of dominant position), kartel dan bentuk-bentuk penguasaan pasar yang tidak sehat. Berdasarkan Pengamatan Sutrisno, KPPU justru banyak melakukan tuduhan-tuduhan kartel terhadap industri yang regulated, seperti kasus kartel DOC, garam dan jasa pengangkutan laut.
“Harusnya, untuk industri yang regulated ini KPPU menggunakan perannya melakukan kebijakan advokasi bukan penegakan hukum. Penegakan hukumpun jika dilakukan hendaknya fokus pada pengawasan terhadap pelaku usaha yang mungkin menyalahgunakan posisi dominan di pasar untuk industri yang diserahkan pada mekanisme pasar,” jelasnya.
Selain itu, ia mengungkapkan ada kerisauan atau kontrakdiksi antara hukum persaingan usaha dan tuntutan global. Bagi pelaku usaha yang ingin bersaing menjangkau pasar global, jelas size perusahaannya harus cukup besar. Untuk memperkuat pertahanannya di pasar internasional, jelas pelaku lokal ini memerlukan koordinasi dengan pelaku usaha lain agar bisa memenangkan pasar. Hanya saja, kasus seperti ini malah mengundang problem oleh otoritas (KPPU) seperti berujung pada tuduhan kartel.
“Sayangnya, begitu kita koordinasi, ditarik itu, dianggap itu kartel. Ini suatu dilema yang sedang dirasakan pelaku usaha di tingkat global. Makanya KPPU itu harus hati-hati melihat konteks industri itu seperti apa,” katanya.
Ia berharap ke depan KPPU dapat menjalankan fungsi dan wewenangnya dengan lebih independen (tak dipengaruhi siapapun untuk memutuskan bersalah tidaknya pelaku usaha), memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha serta transparan atas bukti-bukti yang mereka temukan. Misalnya, KPPU menyatakan pelaku usaha terlibat kartel dengan berpegang pada bukti tidak langsung (Indirect evidence) yang dikantongi, maka semua proses pengumpulan bukti itu harus dibuka.
“Bagaimana KPPU melakukan itu? bagaimana KPPU menemukan indirect evidence itu? apakah due process dalam sengketa perkara itu sudah fair dan tak ada unsur non-diskriminasi?,” tukasnya.
Senada dengan Sutrisno, Guru Besar Persaingan Usaha Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasha Sirait menegaskan lantaran kartel memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam pembuktiannya, maka memang tak bisa hanya bersandar pada bukti berbentuk hardcore seperti perjanjian tertulis, bukti komunikasi dan lainnya.
Apalagi semakin canggihnya perkembangan zaman, maka penerapan pola non-hardcore pada kartel juga dilakukan dengan semakin canggih, dan itu dialami oleh banyak negara. Itulah mengapa Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan bukti tidak langsung (indirect evidence) atau bukti ekonomi sebagai alternative pembuktian kartel.
“Itupun masih enggak mempan bila lembaga persaingan tak lihai dalam membuktikan bukti ekonomi itu. Padahal tanpa menguasai bukti ekonomi itu maka otoritas pasti akan kesulitan membuktikan kartel,” tukasnya.
Beberapa faktor pertimbangan ekonomi yang Ia garis bawahi untuk menganalisa penyebab kenaikan harga di pasar, seperti pertimbangan ketersediaan barang, regulasi dan kebijakan termasuk faktor demand dan supply jelas sangat berpengaruh. Ia mencontohkan, dalam bulan puasa misalnya, pasti demand (permintaan) akan sangat tinggi, sehingga wajar jika harga naik. Faktor itu juga penting untuk dipertimbangkan, jadi tak hanya terfokus pada satu aspek indikasi kartel terlebih bila hanya terpaku dengan direct evidence.
Contoh lainnya, dalam logika ekonomi seseorang akan membeli suatu saham ketika harganya sedang turun, dengan harapan nilai saham itu akan rebound (melambung) di kemudian hari. Sebaliknya, logika hukum bisa saja berfikir ada keanehan ketika seorang penanam saham masuk dikala perusahaan itu sedang merugi. Di situ, katanya, ada logika yang bertolak belakang. Sehingga untuk menghindari penegakan hukum yang tidak tepat sasaran, maka ditegaskan Ningrum bahwa penegakan hukum memang harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Tak bisa dipungkiri, ada dua unsur logika hukum dan logika ekonomi yang tidak bertemu. yang satu bicara kepastian (soal bukti surat dan sebagainya), dan yang ekonomi bergerak fluktuatif tak berkepastian,” ujarnya.
Lebih sulitnya lagi menakar motif kartel serta melakukan pembuktian atas motif itu, terlebih kerjasama yang dilakukan para pelaku kartel dilakukan dengan sangat loyal. Jika semua pelaku solid dan kompak, katanya, maka dalam jangka waktu tertentu itu biasanya pelaku dapat menaikkan harga dengan sangat tinggi. Sebaliknya, dalam hal terjadi disloyalty (ketidaksetiaan antar pelaku), biasanya harga akan terdorong secara sendirinya ke harga persaingan.
“Kalau ada disloyalty, pasti kartel itu enggak akan jalan, pasti maunya bersaing. Dan untuk membuktikan itu, otoritas harus mampu menilai bukti ekonomi dengan melihat industri secara holistik,” pungkasnya.
Berita ini dipublikasikan melalui HUKUM ONLINE, Tersedia di :